PENDAHULUAN
Latar Belakang dan permasalahan Menurut McLuhan , perubahan budaya dalam kehidupan manusia itu ditentukan oleh teknologi. Guna maksud pemahaman lebih dalam tentang asumsi ini, McLuhan melakukan studi interpretative terhadap perjalanan sejarah manusia dalam perspektif media. Untuk keperluan ini, maka dia membagi semua sejarah manusia ke dalam empat periode, yakni : tribal age, literacy age, print age, dan electronic age. Tribal Age, yaitu masa di mana masyarakat masih dalam kelompok-kelompok kesukuan. Dalam masa ini, maka dusun-dusun kesukuan merupakan tempat akustik di mana indera mendengar, merasa, dan mencium jauh melebihi kemampuan melihat. Belahan otak kanan mendominasi belahan kiri, mendengar adalah raja karenanya. Mereka bertindak dan bereaksi emosional pada saat bersamaan. Jadi, dalam berkomunikasi masyarakat lebih mengandalkan telinga. Literacy Age, pada masa ini maka sudah terjadi perubahan, yakni dari pengandalan indera telinga ke pengandalan mata. Abjad fonetik menggantikan penglihatan dan pendengaran untuk memimpin hieranchi indera. Orang yang dapat membaca mengganti telinga dengan mata. Logika menjadi model pada kemajuan linier selangkah demi selangkah. Menurut Luhan penemuan abjad ini mendorong kemunculan tiba-tiba matematika, iptek dan filsafat di Yunani kuno. Sementara, Print Age, yaitu zaman penemuan media cetak. Kalau abjad fonetik memungkinkan ketergantungan visual, maka percetakan membuatnya dapat tersebar luas. Karena revolusi percetakan menunjukkan produksi massal produk yang sama, maka McLuhan menyebutkannya sebagai perintis revolusi industri. Sedang Electronic Age, yaitu zaman elektronik yang ditandai dengan penemuan radio dan televisi. Kekuasaan “kata” yang tercetak pada masa ini menurut McLuhan telah berakhir dan digantikan oleh telegraf. Padahal penemuan Samuel Morse ini hanyalah bagian pertama dari alat komunikasi elektonik selanjutnya, hingga internet.
Meskipun
McLuhan tidak memasukkan Cyber media sebagai salah satu age-nya, namun sebelum
meninggal pada 1980 ia sempat meramalkan bahwa dampak budaya dari perangkat
keras komunikasi tidak penting jika dibandingkan dengan gejolak yang disebabkan
oleh perangkat lunak komputer yang akan datang. Digambarkannya, kita semua
sebagai anggota dusun global tunggal. Media elektronik membuat kita semua dapat
bersentuhan dengan siapa saja dan di mana saja dengan sekejab.
Apa
yang diramalkan McLuhan tersebut menyangkut komputer, kiranya menunjukkan
banyak fakta yang relevan dalam masyarakat saat ini, misalnya melalui kehadiran
internet sebagai wujud dari hasil kombinasi kemampuan teknologi informasi dan
komunikasi. Karena internet, kita dengan mudah bisa mengakses berbagai
informasi dari berbagai sumber dan berbagai lokasi di belahan bumi yang kita
butuhkan saat ini dengaan waktu yang relative cepat. Karena itu, maka dari segi
sosial budaya, misalnya masyarakat saat ini menjadi tidak perlu harus beli buku
yang ia perlukan, cukup dengan mengakses internet. Bahkan ia bisa berkomunikasi
langsung dengan para penulis buku yang diperlukannya, misalnya dengan EM
Griffin, kita bisa melakukannya dengan menggunakan internet.
Jadi,
determinisme teknologi Marshal McLuhan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa
teknologi itu mempengaruhi budaya komunikasi sebagai salah satu bentuk
perubahan sosial. Sebuah perubahan sosial yang sangat fenomenal dan karenanya
menyebabkan masyarakat dunia jadi terdorong untuk mengembangkan bentuk
masyarakat baru yang kemudian dikenal dengan konsep Masyarakat Informasi
(Information Society).
Sebagai
sebuah perubahan sosial yang fenomenal, tulisan ini akan mencoba menelaahnya
secara lebih jauh. Telaahannya akan difokuskan pada upaya mengetahui secara
detil menyangkut konsep Masyarakat Informasi itu sendiri. Selain itu, juga akan
ditelusuri mengenai bagaimana komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan
Masyarakat Informasi. Persoalan lain yang menjadi fokus dalam makalah ini
adalah menyangkut komitmen perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan
Masyarakat Pedesaan Indonesia; masalah ICT enabling, ICT Literacy dalam
kaitannya dengan perwujudan masyarakat informasi; dan persoalan yang terkait
dengan problema digital devide di lingkungan Pedesaan dalam hubungannya dengan
perwujudan masyarakat informasi
PEMBAHASAN
Masyarakat Informasi Konsep ini secara umum menjelaskan bagaimana masyarakat dalam hubungannya dengan aktifitas informasi dan komunikasi yang difasilitasi oleh kemampuan produk Information and Communication Technologies (ICT) modern berupa internet . Dalam masyarakat yang demikian sendiri digambarkan, bahwa individu masyarakat yang melalui fasilitasi kemampuan internet dapat menciptakan, mendisdribusikan, menggunakan dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan dalam bidang ekonomi, politik dan aktifitas kebudayaan.
Ciri
masyarakat informasi yang notabene sangat berbeda dengan ciri masyarakat dalam
fase-fase sebelumnya, banyak mendapat perhatian akademisi. Para akademisi
berbeda pandang dalam hal ciri tersebut, diantaranya ada yang mengacu pada
ukuran perolehan GNP dan tenaga kerja yang aktif di sektor information economy
(Deutsch -1983). Jean-François Lyotard (1984: 5) menurut ukuran di mana
pengetahuan dapat ditransformasikan menjadi sebuah komoditas. Peter Otto dan
Philipp Sonntag (1985), cirinya menurut ukuran mayoritas tenaga kerja yang
bekerja di perkerjaan-pekerjaan informasi. Ada pula yang mencirikannya
berdasarkan indikator di mana a majority of jobs involves working with
knowledge (Nico Stehr (1994, 2002a, b).
Sejalan dengan ragam ciri itu, konsep information society pun mendapat pendefinisian yang variatif menurut konseptualisasi yang juga jadi beragam. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi network societies, the post-industrial society, post-modern society, knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry, network society, dan the 'The Wired Society' .
Sejalan dengan ragam ciri itu, konsep information society pun mendapat pendefinisian yang variatif menurut konseptualisasi yang juga jadi beragam. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi network societies, the post-industrial society, post-modern society, knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry, network society, dan the 'The Wired Society' .
Barney
(2004: 25sq), melalui konsep network societies mengartikan masyarakat informasi
dengan, reproduksi dan institusionalisasi melalui (dan antara) jaringan
masyarakat sebagai bentuk dasar dari organisasi dan hubungan manusia melintasi
batasan yang luas dari konfigurasi dan asosiasi sosial, politik dan ekonomi
Dengan konseptualisasi serupa dengan Barney, Jan Van Dijk (2006) mendifinisikan
masyarakat jejaring sebagai sebuah “formasi sosial dengan infrastruktur
jaringan sosial dan media yang memfasilitasi mode utama dari organisasinya pada
semua level Sementara Webster relatif berbeda dengan akademisi lainnya,
information society didefinisikannya menurut lima konsep, yakni : information
society menurut konsep technological, economic, occupational, spatial, dan
cultural . Sedang James Martin (1978) yang mengkonseptualisir fenomena
masyarakat informasi dengan konsep 'The Wired Society', mengartikannya sebagai
suatu masyarakat yang terkoneksiasi dengan massa dan jaringan telekomunikasi.
Keragaman definisi itu menurut Mäkinen bukan menjadi sesuatu yang ideal, karena menurutnya konsep masyarakat informasi itu diperlukan untuk mendefinisikan konstruksi sosial bagi segala situasi di mana informasi itu ada. Dengan demikian ini dapat diartikan bahwa pengertian masyarakat informasi idealnya harus dapat mengadopsi segala situasi dan kepentingan di mana informasi itu eksis. Terkait dengan makna pernyataan Mäkinen tersebut, World Summit on the Information Society (WSIS) mendefinisikan masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia.
Keragaman definisi itu menurut Mäkinen bukan menjadi sesuatu yang ideal, karena menurutnya konsep masyarakat informasi itu diperlukan untuk mendefinisikan konstruksi sosial bagi segala situasi di mana informasi itu ada. Dengan demikian ini dapat diartikan bahwa pengertian masyarakat informasi idealnya harus dapat mengadopsi segala situasi dan kepentingan di mana informasi itu eksis. Terkait dengan makna pernyataan Mäkinen tersebut, World Summit on the Information Society (WSIS) mendefinisikan masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia.
Definisi
Masyarakat Informasi menurut WSIS tampaknya cukup akomodatif bagi semua pihak.
Paling tidak, sifat akomodatif tersebut ditandai oleh kata-kata “dapat”,
“mencapai potensi” dan “mengembangkan” dalam kaitan informasi dan pengetahuan
pada Masyarakat Informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target
capaian ideal masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak
definisi lain, misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi
atau pengetahuan, melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan
tetapi melalui kata “dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT
menjadi pre kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat
masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat informasi.
Dalam
kaitan pemenuhan pre kondisi tadi, yakni ICT sebagai enabler yang menjadikan
terkoneksinya masyarakat , karena biaya pemenuhannya yang sangat besar, banyak
pihak yang menilai bahwa persoalan tersebut menjadi tanggung jawab setiap
negara . Dengan kesadaran setiap pemerintahan negara, akhirnya persoalan ICT
dalam kaitan penciptaan masyarakat informasi, disepakati untuk diatasi. Kesepakatan
ini berwujud dalam bentuk penyelenggaraan dua pertemuan internasional yang
diselenggarakan oleh WSIS sebagai perpanjangan tangan dari UNESCO. Pertemuan
pertama tahun 2003 berlangsung di Jenewa Swis dan kedua tahun 2005 di Tunis.
Komitmen
Dunia terhadap Perwujudan Masyarakat Informasi
Dalam
WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat itu mendeklarasikan tekad
bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital ini. Tekad ini kemudian
dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan masyarakat informasi
: tantangan dunia dalam millennium baru” yang diantaranya berbunyi :”Kami,
wakil dari masyarakat dunia, berkumpul di Jenewa dari tanggal 10-12 Desember
2003 dalam forum pertama dari World Summit on the Information Society (WSIS)
mendeklarasikan kesamaan keinginan dan komitmen kami untuk membangun masyarakat
terpusat, sampai dengan dan berorientasi membangun Masyarakat Informasi, di
mana semua orang dapat menciptakan, mengakses, menggunakan, dan membagikan
informasi dan pengetahuan, memfasilitasi baik individu, komunitas, dan
masyarakat untuk mencapai potensi maksimalnya dalam mendukung pembangunan
berkesinambungan dan meningkatkan kualitas kehidupannya, berpegang pada tujuan
dan prinsip dari Piagam PBB dan menghargai sepenuhnya dan menjunjung Deklarasi
Hak Asasi Manusia”.
Tekad
itu kemudian ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS
di Tunis 2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat
40 komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad
untuk mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di
Jenewa Swis 2003, komitmennya yaitu : “Kami, wakil dari masyarakat di dunia,
telah berkumpul di Tunis dari tanggal 16-18 November 2005 pada forum kedua dari
World Summit on the Information Society (WSIS) untuk menyatakan kembali secara
tegas mendukung Deklarasi Jenewa tentang Prinsip dan Rencana Kerja yang diambil
dari forum pertama World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva
pada bulan Desember 2003” .
Berdasarkan
komitmen tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam langkah-langkah nyata dalam
upaya mewujudkan masyarakat informasi dunia dengan cara menekankan pentingnya
soal financial dalam upaya mempersempit gab digital devide. Langkah-langkah
dimaksud tertuang dalam “TUNIS AGENDA FOR THE INFORMATION SOCIETY”. Dari 122
agenda, ada dua agenda yang menandakan besarnya loncatan sikap internasional
untuk segera mewujudkan masyarakat informasi dunia. Sikap dimaksud ditandai
oleh sikap bersama anggota melalui deklarasi mereka, ”..…. Ini saatnya untuk
bergerak dari prinsip kepada tindakan, mempertimbangkan kegiatan yang telah
mulai dilakukan dalam mengimplementasikan Rencana Kerja Jenewa dan
mengidentifikasi kemajuan-kemajuan terkait hal tersebut baik yang telah dilakukan,
sedang dilakukan, atau yang belum dilakukan,” sebagaimana tertuang dalam agenda
pertama. Indikator lain tertuang dalam agenda kedua, yakni : ”Kami menegaskan
kembali komitmen yang telah dibuat di Jenewa dan disusun di Tunis dengan
memfokuskan pada mekanisme financial untuk menjembatani kesenjangan digital,
pada pemerintahan berbasis Internet dan yang berkaitan dengan hal tersebut,
sebagai bentuk pengimplementasian dan tindak lanjut atas keputusan di Jenewa
dan Tunis; agenda ke-12, “Kami menyetujui bahwa pembiayaan terkait ICT untuk
kebutuhan pembangunan perlu ditetapkan dalam konteks semakin pentingnya peran
ICT, bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai pendukung
pembangunan, dan sebagai alat untuk pencapaian cita-cita dan tujuan pembangunan
yang diakui di dunia internasional, termasuk Cita-cita Pembangunan Milenium”.
Wilayah-wilayah
seperti pedesaan, pulau-pulau terpencil dan sejenisnya, dinilai menjadi wilayah
yang paling tinggi tingkat kesenjangan digitalnya. Meskipun demikian, problematika
yang ada seperti di wilayah pedesaan, cenderung berbeda karakteristiknya antara
yang dialami oleh pedesaan di negara-negara Utara dan di negara-negara Selatan.
Karenanya, dalam kaitan “information society”, persepsi dan penanganan terhadap
persoalan pedesaan menjadi relatif berbeda pula. Tidak seperti pada kebanyakan
negara-negara Selatan yang sarat dengan persoalan ICT enabling, maka pada
negara-negara Utara seperti negara Eropa, misalnya, yang menjadi problema dalam
pembangunan pedesaan di sana bukan lagi menyangkut soal ICT enabler, melainkan
justru masyarakat informasi itu sendiri yang dinilai menjadi enabler .
Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia
Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia
Dalam peretemuan WSIS di Tunis 2005, terkait problema pedesaan tadi, juga termasuk menjadi bagian persoalan yang diakomodir dalam peng-agenda-an oleh para anggota delegasi. Agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. itu berbunyi ,“Akses komunikasi dan konektivitas terhadap layanan dan aplikasi berbasis ICT pada wilayah pedesaan, pulau-pulau kecil negara berkembang, daerah-daerah terpencil di negara-negara berkembang dan lokasi lain yang mewakili tantangan teknologi dan pasar yang unik” Dengan peng-agenda-an tersebut, berarti persoalan pedesaan menjadi krusial dalam upaya menjadikan masyarakatnya sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Karena, sebagaimana diketahui, peng-agenda-an pada tahun 2005 ini, sebenarnya merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya telah dinyatakan dalam Plan of Action pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva.
Sebagai negara peserta WSIS, Indonesia telah berupaya mengadopsi substansi deklarasi dan plan of action yang muncul dalam dua pertemuan WSIS tadi. Bukti untuk ini sendiri, antara lain itu tertuang dalam Government of Indonesia’s Action Plan to overcome the Digital Divide. Action Plan ini mencakup banyak hal yang terbagi ke dalam empat bidang masalah, terdiri dari : Policy and Legal Framework; Human Capacity Building; Infrastructure; dan Applications .
Terkait khusus tentang bidang aplikasi, maka dalam rencana aksi tersebut diketahui bahwa pemerintah akan membantu peran sentral sektor swasta dalam translating the potential of ICTs into activities that bring about real economic growth guna mengurangi kesenjangan digital di antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dalam upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta juga dijadualkan pemerintah untuk memperluas daerah akses elektronik sehingga dapat menyediakan informasi dasar berkaitan dengan kegiatan sosial dan ekonomi setempat untuk mempromosikan daya saing dari daerah tersebut (misalnya Desa Maju). Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas).
Kuatnya
komitmen Pemerintah Indonesia untuk membawa yang diimbangi dengan upaya
pembangunan infrastruktur yang memadai tadi, karenanya tentu dapat jadi
pengurang bagi lebarnya kesenjangan digital (digital devide) dalam masyarakat
Indonesia. Suatu gambaran ideal yang tentunya di sisi lain dapat dijadikan
sebagai indikasi kalau masyarakat desa semakin siap untuk menjadi warga
masyarakat informasi dunia. Namun demikian, asumsi ini tampaknya berindikasi
kurang relevan bila dikaitkan dengan data ITU (International Telecommunication
Union) tentang Digital Access Index 2002 . Sebagaimana diperlihatkan data
tersebut, tingkat ICT Literacy penduduk Indonesia berada di urutan k-51 dalam
kategori medium access dan urutan ke-116 dari total 178 negara yang masuk dalam
index ITU.
Data
ITU tersebut hampir sama dengan data resmi World Internet User Statistics yang
di perbarui 10 Maret 2007 mengenai jumlah pengguna internet di Indonesia.
Dengan 18,000,000 pengguna dari populasi 224,481,720 jiwa, Indonesia diketahui
menempati urutan ke-15 dunia dengan penetrasi internet sebesar 8 % (1,6 % dari
total pengguna internet dunia). Dengan acuan deskripsi data akses digital
menurut ITU dan internet users menurut World Internet User Statistics, kiranya
dapat ditafsirkan bahwa kesiapan masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan
Indonesia yang sebelumnya diasumsikan relatif membaik karena sejalan dengan
kuatnya komitment pemerintah, dalam realitas, ternyata berdasarkan fenomenanya
menunjukkan masih jauh dari harapan.
Pemerintah
sendiri melalui Departemen Komunikasi dan Informatika, melalui Renstra-nya
tahun 2004-2009 di bidang Aplikasi telematika : antara lain telah menetapkan,
agar ”Meningkatnya aksesibilitas teknologi informasi dan e-literacy dan
Meningkatnya pemanfataan teknologi informasi untuk semua sektor” , dapat
diwujudkan. Membandingkan komitmen sebelumnya serta target capaian renstra
dimaksud dengan fenomena minimnya digital access dan internet users masyarakat
Indonesia sebelumnya, dengan mana mengindikasikan fenomena irrelevansi antara
das solen dan das sein, tentu ini dapat menjadi factor yang bisa melemahkan
upaya perwujudan ciri masyarakat informasi di lingkungan masyarakat pedesaan
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dikatakan menjadi pelemah
karena keminiman digital access dan internet users tadi berdasarkan pendapat
para ahli menjadi salah satu penanda bahwa persoalan ICT enabling dan ICT
Literacy di lingkungan masyarakat memang masih relatif belum teratasi.
ICT enabling, ICT Literacy dan Perwujudan masyarakat informasi Fenomena kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (baca : TIK atau ICT) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dari beberapa literatur diketahuai telah banyak berperan dalam meningkatkan kualitas peradaban umat manusia, terutama dalam hubungannya dengan aktifitas kehidupan di bidang komunikasi dan informasi. Telepon, gramofon, film, video, radio dan televisi, kiranya menjadi contoh wujud produk ICT yang dulu begitu besar perannya dalam keseharian kehidupan masyarakat. Namun, wujud produk ICT tersebut menjadi kuno atau old ICT ketika perkembangan Iptek yang pesat dan canggih berhasil mewujudkan produk ICT modern yang mampu melakukan revolusi digital melalui medium internet , sebuah teknologi yang dirintis pertama kali oleh kalangan militer Amerika Serikat pada tahun 60-an.
ICT enabling, ICT Literacy dan Perwujudan masyarakat informasi Fenomena kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (baca : TIK atau ICT) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dari beberapa literatur diketahuai telah banyak berperan dalam meningkatkan kualitas peradaban umat manusia, terutama dalam hubungannya dengan aktifitas kehidupan di bidang komunikasi dan informasi. Telepon, gramofon, film, video, radio dan televisi, kiranya menjadi contoh wujud produk ICT yang dulu begitu besar perannya dalam keseharian kehidupan masyarakat. Namun, wujud produk ICT tersebut menjadi kuno atau old ICT ketika perkembangan Iptek yang pesat dan canggih berhasil mewujudkan produk ICT modern yang mampu melakukan revolusi digital melalui medium internet , sebuah teknologi yang dirintis pertama kali oleh kalangan militer Amerika Serikat pada tahun 60-an.
Dengan
kemampuan teknologi ini dalam hal fasilitasi aktifitas komunikasi dan
informasi, dengan mana sangat jauh berbeda dengan kemampuan yang dimiliki oleh
medium konvensional yang ada sebelumnya, menjadikannya sebagai masalah menarik
oleh banyak kalangan. Dari kalangan akademisi misalnya, maka dengan berangkat dari
fenomena kehidupan masyarakat di Amerika Serikat dalam kaitan ICT , Bell
melalui bukunya The Coming of Post industrial Society (1973), menyebut
masyarakat yang demikian dengan masyarakat pasca industri. Kemunculan
masyarakat yang demikian kata Bell akan mencakup terjadinya suatu transformasi
besar dalam dasar masyarakat. Masyarakat ini berbeda dengan masyarakat industri
yang bertumpu pada harta benda,di mana lebih menekankan pengetahun, khususnya
pengetahuan teoritis. Sebagai tambahan pada dan dalam hubungan dengan perubahan
itu, masyarakat pasca industri memberi suatu penekanan baru kepada waktu luang.
Orang memperoleh bentuk-bentuk pendidikan yang maju bukan saja untuk kegunaan
sosial yang penting, tapi juga untuk peningkatan kesenangan dan intelektual.
Menurut
Sanderson, pasca publikasi opini Bell melalui bukunya tadi, ungkapan masyarakat
pasca industri jadi sering dimunculkan dan diterima dalam sejumlah buku teks
sosiologi dan karya-karya lainnya. Sejalan dengan terus berkembanganya ICT,
seiring itu pula peristilahan terhadap masyarakat pasca industri yang disebut
Bell tadi terus mengalami perubahan dan penambahan jumlah konsep. Diantaranya
ada yang mengkonseptualisirnya menjadi post-modern society , knowledge society,
Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism,
transnational network capitalism, knowledge industry dan network society.
Namun, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bagian awal, ini semua
dimaksudkan untuk menunjukkan fenomena kemasyarakatan dalam kaitan ICT sebagaimana
dimaksudkan dalam pengertian konsep information society menurut WSIS.
Dalam
perkembangannya, konsep ICT yang sebelumnya hanya dikenal akrab di kalangan
negara-negara Utara yang memang telah mendahului fase-fase awal pertumbuhan dan
perkembangan ICT, karena kemampuannya dalam melakukan digital revolution,
menyebabkannya jadi dipandang sebagai enabler utama dalam upaya mencerdaskan,
meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan mengurangi keterisolasian
antar sesama masyarakat dunia . . Ini terutama ketika kepentingan ICT enabling
tadi dikaitkan dengan konsep information society, yang oleh 178 negara dalam
pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis memang disepakati untuk segera diwujudkan
dengan cara mengkoneksiasi 50 % masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025.
Mengenai
kepentingan ICT enabling dalam proses mewujudkan information society sendiri,
berdasarkan literatur diketahui telah banyak mendapat pengakuan berbagai
kalangan yang memandang positif terhadap ICT. Menurut McNamara , ICT dapat
berperan sebagai hal yang menentukan dalam menopang pembangunan individu,
masyarakat dan bangsa. Sementara menurut WSIS (2003) ICT dinilai sangat penting
dalam pengembangan agenda karena ICTs diantaranaya dapat digunakan dalam
admisitrasi public, bisnis, pendidikan, kesehatan dan lingkungan.
Lebih khusus lagi, diantaranya ICT juga disebutkan dapat berperan dalam membantu pengurangan kemiskinan (Duncombe 2001) , dan memperluas peluang pembangunan ekonomi (Prosser 1997, World Bank 1998 ). Dengan pemanfaatan ICT, menurut Ellis (2000, p.31) , “akses terhadap informasi memberikan kesempatan bagi seseorang “untuk menjalankan usaha/produksi, menggunakan bursa tenaga kerja, dan terlibat dalam pertukaran timbal-balik dengan orang lain. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa adanya suatu hubungan di antara akses terhadap telepon selular dengan pertumbuhan ekonomi, dengan mana dampaknya lebih signifikan pada negara berkembang dibandingkan dengan negara terkebelakang.
Meskipun begitu, sehubungan pengalaman masyarakat di negara-negara Utara dan Selatan di bidang fase perkembangan ICT memiliki perbedaan besar, peran ICT sebagai enabler tadi justru kerap menjadi persoalan yang mendapat perhatian besar ketika semua negara tanpa dikotomi Utara-Selatan, dipersamakan dalam upaya mewujudkan target information society yang nota bene diyakini pula oleh semua negara yang tergabung dalam WSIS sebagai terwujud karena ICT sebagai enabler utama. Persoalan-persoalan seperti digital divide, yakni suatu ‘situasi yang ditandai oleh adanya jurang dalam mengakses atau menggunakan peralatan ICT’ , karenanya menjadi persoalan serius bagi kebanyakan negara-negara developing dan developed countries. Digital devide ini sendiri, selain diidentifikasi muncul karena adanya keterbatasan fisik ICT device yang menyebabkan tidak ter-networking-nya masyarakat, juga disinyalir karena berkaitan dengan factor human resources berupa ICT illiterate .
Lebih khusus lagi, diantaranya ICT juga disebutkan dapat berperan dalam membantu pengurangan kemiskinan (Duncombe 2001) , dan memperluas peluang pembangunan ekonomi (Prosser 1997, World Bank 1998 ). Dengan pemanfaatan ICT, menurut Ellis (2000, p.31) , “akses terhadap informasi memberikan kesempatan bagi seseorang “untuk menjalankan usaha/produksi, menggunakan bursa tenaga kerja, dan terlibat dalam pertukaran timbal-balik dengan orang lain. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa adanya suatu hubungan di antara akses terhadap telepon selular dengan pertumbuhan ekonomi, dengan mana dampaknya lebih signifikan pada negara berkembang dibandingkan dengan negara terkebelakang.
Meskipun begitu, sehubungan pengalaman masyarakat di negara-negara Utara dan Selatan di bidang fase perkembangan ICT memiliki perbedaan besar, peran ICT sebagai enabler tadi justru kerap menjadi persoalan yang mendapat perhatian besar ketika semua negara tanpa dikotomi Utara-Selatan, dipersamakan dalam upaya mewujudkan target information society yang nota bene diyakini pula oleh semua negara yang tergabung dalam WSIS sebagai terwujud karena ICT sebagai enabler utama. Persoalan-persoalan seperti digital divide, yakni suatu ‘situasi yang ditandai oleh adanya jurang dalam mengakses atau menggunakan peralatan ICT’ , karenanya menjadi persoalan serius bagi kebanyakan negara-negara developing dan developed countries. Digital devide ini sendiri, selain diidentifikasi muncul karena adanya keterbatasan fisik ICT device yang menyebabkan tidak ter-networking-nya masyarakat, juga disinyalir karena berkaitan dengan factor human resources berupa ICT illiterate .
Menyimak
factor ICT literacy mengindikasikan sebagai enabler lain yang menentukan dalam
memaksimalkan peran ICT dalam membawa masyarakat menuju masyarakat informasi,
maka mempelajari ICT Literacy masyarakat pedesaan Indonesia yang disinyalir
lebih lebar the gap of digital divide-nya dibandingkan dengan masyarakat
perkotaan, karenanya menjadi penting untuk dilakukan, terutama itu jika
dikaitkan dengan upaya memahami masalah bridging the rural– urban devide,
misalnya.
Problema
digital devide di lingkungan Pedesaan dan Perwujudan masyarakat informasi
Upaya menjadikan masyarakat pedesaan untuk menjadikannya sebagai bagian dari Masyarakat Informasi global telah menjadi problema bagi banyak negara di dunia, terutama pada negara-negara Selatan seperti Indonesia, yang bersama negara-negara peserta WSIS lainnya, memang telah sepakat untuk segera mengatasi problem dimaksud, yakni cenderung menyangkut persoalan digital devide.
Persoalan
digital devide memiliki dimensinya sendiri pada setiap negara. Pada
negara-negara Eropa, kesenjangan itu antara lain berupa : 1)
rintangan-tintangan sosial penduduk pedesaan terhadap informasi, fasilitas
pendidikan, kesehatan dan layanan-layanan sosial, dan lain-lain ; 2)
hambatan-hambatan informasi – dalam situasi terakhir di banyak daerah pedesaan
dan fasilitas-fasilitas yang mereka miliki tidak memungkinkan mereka bagi
"dunia luar–wilayah-wilayah lainnya, pusat kota atau provinsi lain –
wisata pedesaan, produk local, dll.”.
Pada
negara Selatan seperti Nigeria, kesenjangan digital ini jumlahnya mencapai 14
dimensi, diantaranya menyangkut soal ketersediaan layanan fasilitas ICT,
peluang untuk belajar dan menggunakan media baru, budaya, kesadaran, sikap, dan
ketidakmampuan . Menyangkut Indonesia sendiri, menurut data resmi World
International User statistics hingga 10 Maret 2007, jumlah penetrasi
internetnya baru mencapai 8 % dari total populasi bangsa Indonesia. Dengan kata
lain, baru 1,6 % dari populasi pengguna internet dunia. . Dari jumlah ini,
sejalan dengan teledensity di desa Indonesia lebih tinggi (0,2 %) dari pada di
kota (11-25 %) , maka ini menjadi indikasi kalau pengguna internet di desa itu
jauh lebih sedikit jumlahnya dari pada di kota.
Selain faktor ketersediaan infra struktur, ada beberapa indikasi lain yang menyebabkan tingginya tingkat digital devide masyarakat di pedesaan Indonesia. Beberapa diantaranya, berkaitan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih, tapi tarif broadband internet kita 45 kali lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain”. Termasuk pula menyangkut soal minimnya SDM, bahkan, pegawai pemerintah yang tahu internet masih sedikit jumlahnya. Menurut Indonesia Internet Research Center (IIRC), hal yang nota bene berkaitan dengan soal literasi ICT masyarakat ini, ada kaitannya dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk teknologi seperti internet. .
Selain faktor ketersediaan infra struktur, ada beberapa indikasi lain yang menyebabkan tingginya tingkat digital devide masyarakat di pedesaan Indonesia. Beberapa diantaranya, berkaitan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih, tapi tarif broadband internet kita 45 kali lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain”. Termasuk pula menyangkut soal minimnya SDM, bahkan, pegawai pemerintah yang tahu internet masih sedikit jumlahnya. Menurut Indonesia Internet Research Center (IIRC), hal yang nota bene berkaitan dengan soal literasi ICT masyarakat ini, ada kaitannya dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk teknologi seperti internet. .
Melihat
kondisi masyarakat pedesaan yang mengacu pada sejumlah indikator yang
memposisikan mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang relatif
tinggi tingkat digital devide-nya, maka internet sebagai salah bentuk produk
ICT modern, tampaknya masih benar-benar menjadi sesuatu yang inovatif bagi
mereka. Namun, terkait dengan tingginya tingkat digital devide tadi, itu
menandakan kalau masyarakat pedesaan masih belum banyak yang mengadopsi
internet sebagai sesuatu yang inovatif. Sebagai inovasi yang masih belum banyak
diadopsi, kiranya ini dapat diasumsikan kalau ini akan berkaitan dengan kadar
ICT literacy masyarakat pedesaan, yang nota bene mungkin akan banyak yang masih
rendah.
Dalam kaitan upaya mewujudkan masyarakat pedesaan menjadi bagian dari Masyarakat Informasi global, dengan fenomena ICT literacy tadi, tentunya itu menjadi kurang ideal. Kondisi ini cenderung memposisikan mereka menjadi pihak-pihak yang kurang kemungkinannya untuk dapat beraktifitas sebagai individu masyarakat informasi, yakni masyarakat yang mengutamakan internet sebagai médium komunikasi dan informasi.
Dalam kaitan upaya mewujudkan masyarakat pedesaan menjadi bagian dari Masyarakat Informasi global, dengan fenomena ICT literacy tadi, tentunya itu menjadi kurang ideal. Kondisi ini cenderung memposisikan mereka menjadi pihak-pihak yang kurang kemungkinannya untuk dapat beraktifitas sebagai individu masyarakat informasi, yakni masyarakat yang mengutamakan internet sebagai médium komunikasi dan informasi.
PENUTUP
Sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya pada awal makalah, tulisan ini mencoba menelaah fenomena upaya perwujudan masyarakat informasi di lingkungan pedesaan, khususnya di lingkungan pedesaan Indonesia. Pembahasannya difokuskan pada beberapa hal, yaitu: menyangkut pengertian konsep Masyarakat Informasi; komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi; komitmen perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia; masalah ICT enabling,ICT Literacy dalam hubungan perwujudan masyarakat informasi; dan menyangkut problema digital devide di lingkungan Pedesaan.
Dari hasil pembahasan menunjukkan bahwa :
(1)
pengertian masyarakat informasi itu sangat variatif, namun yang relatif
akomodatif bagi semua pihak adalah seperti yang dikemukakan World Summit on the
Information Society (WSIS), bahwa masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di
mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi
serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat
untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus
terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah
dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan,
menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia.
Ciri akomodatif tadi ditandai oleh kata-kata “dapat”, “mencapai potensi” dan
“mengembangkan” dalam kaitan informasi dan pengetahuan pada Masyarakat
Informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target capaian ideal
masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak definisi lain,
misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi atau pengetahuan,
melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan tetapi melalui kata
“dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT menjadi pre kondisi
yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat masyarakatnya menjadi bagian
dari masyarakat informasi.
(2)
Komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi tertuang
dalam dua pertemuan WSIS. Dalam WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat
itu mendeklarasikan tekad bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital.
Tekad ini lalu dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan
masyarakat informasi : tantangan dunia dalam millennium baru”. Tekad itu kemudian
ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS di Tunis
2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat 40
komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad untuk
mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di
Jenewa Swis 2003, komitmennya yaitu : “Kami, wakil dari masyarakat di dunia,
telah berkumpul di Tunis dari tanggal 16-18 November 2005 pada forum kedua dari
World Summit on the Information Society (WSIS) untuk menyatakan kembali secara
tegas mendukung Deklarasi Jenewa tentang Prinsip dan Rencana Kerja yang diambil
dari forum pertama World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva
pada bulan Desember 2003”.
(3)
Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan
Indonesia mengacu pada kesepakatan dalam pertemuan WSIS di Tunis 2005, yakni
berdasarkan agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. yang berbunyi ,“Akses
komunikasi dan konektivitas terhadap layanan dan aplikasi berbasis ICT pada
wilayah pedesaan, pulau-pulau kecil negara berkembang, ........”. Komitmen ini
merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya
telah dinyatakan dalam Plan of Action pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva. Dalam
upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak
swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet
dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta
juga dijadualkan pemerintah untuk memperluas daerah akses elektronik sehingga
dapat menyediakan informasi dasar berkaitan dengan kegiatan sosial dan ekonomi
setempat untuk mempromosikan daya saing dari daerah tersebut (misalnya Desa
Maju). Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan
oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas);.
(4)
Dalam kaitan upaya perwujudan masyarakat informasi maka sebanyak 178 negara
dalam pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis sepakat bahwa faktor ICT enabling itu
menjadi enabler utama yang harus diwujudkan guna terkoneksasinya 50 %
masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025. Enabler lain yang juga menjadi
faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat informasi yaitu faktor yang
terkait dengan factor human resources, yaitu faktor ICT Literacy.; dan.
(5)
Pada negara-negara Selatan seperti Indonesia, yang bersama negara-negara
peserta WSIS lainnya sepakat bahwa persoalan digital devide itu menjadi
penggangu (problem) bagi upaya perwujudan masyarakat informasi terutama di
pedesaan, dan karenanya harus diatasi. Persoalan digital devide di pedesaan
Indonesia, selain menyangkut faktor ketersediaan infra struktur (enabling),
juga berhubungan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih,
minimnya kualitas SDM yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya
sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk
teknologi seperti internet.
Berdasarkan
kesimpulan sebelumnya, dalam hal ini terutama menyangkut persoalan digital
devide di pedesaan Indonesia yang muncul dari faktor minimnya kualitas SDM,
maka guna menemukan data akurat untuk kepentingan pengembangan kualitas SDM
tadi, secara akademik diperlukan upaya penelaahan akademik yang lebih jauh,
misalnya melalui riset kesadaran masyarakat pedesaan akan inovasi baru di
bidang ICT. Dengan topik penelitian yang demikian, maka dimaksudkan bisa
menjadi sebagai salah satu upaya dalam memetakan tingkat literasi ICT
masyarakat pedesaan dan hubungannya dengan karakteristik anggota masyarakat.
Melalui maksud tersebut, maka penelitian sejenis ini dapat ditujukan :
1)
untuk mengukur tingkat literasi ICT masyarakat pedesaan; dan,
2)
untuk menjelaskan hubungan variabel literasi ICT dengan variabel karakteristik
anggota masyarakat pedesaan. Perwujudan dua tujuan dimaksud, selanjutya secara
praktis diharapkan dapat menjadi masukan, terutama bagi Depkominfo dalam
perumusan kebijakan di bidang pembangunan ICT Litercy dalam rangka proses
bridging the rural– urban devide. Sementara dari segi akademis, hasil
penelitian sejenis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
teori difusi inovasi, khususnya menjelaskan penyebarluasan inovasi ICT dalam
masyarakat pedesaan.